![]() |
Gubernur Kepri, Ansar Ahmad (kanan) ketika menyalami tamu undangan. Foto: Diskominfo Kepri |
Namun di balik barisan angka-angka yang tersusun rapi itu, tersimpan kenyataan getir: pendapatan daerah yang awalnya diproyeksikan Rp3,918 triliun, justru turun Rp7,3 miliar menjadi Rp3,911 triliun.
Sebuah penurunan yang mungkin terdengar kecil di atas kertas, tapi sesungguhnya berarti banyak bagi masyarakat kecil yang menggantungkan harapan pada setiap rupiah anggaran.
Di saat pendapatan menurun, belanja daerah justru naik Rp14,7 miliar, dari Rp3,918 triliun menjadi Rp3,933 triliun.
Kenaikan ini diarahkan untuk program-program prioritas pemerintah, seperti penataan ASN, pengangkatan PPPK, serta pembangunan infrastruktur.
“Kita harap agar segera dibahas dan disetujui bersama DPRD, sehingga pelaksanaannya bisa optimal tepat waktu,” ujar Ansar dengan nada penuh keyakinan.
Namun, bagi rakyat yang duduk di kursi-kursi kayu sederhana di kampung-kampung pesisir, berita itu mungkin terasa seperti pisau bermata dua.
Di satu sisi ada janji pembangunan, tapi di sisi lain ada rasa cemas: apakah kenaikan belanja itu benar-benar akan menyentuh mereka, atau justru habis untuk kebutuhan birokrasi?
Ansar menyebut, pembiayaan juga berubah signifikan dari Rp240 juta menjadi Rp22,2 miliar.
Kenaikan itu berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) tahun 2024 sebesar Rp22 miliar.
Namun sebagian besar Silpa tersebut sudah memiliki peruntukan.
Dengan kata lain, itu bukanlah uang baru yang benar-benar bisa bebas dipakai untuk kebutuhan mendesak masyarakat.
Di kursi paripurna, Ketua DPRD Kepri Iman Sutiawan mencoba memberi kepastian.
Ia menegaskan, pihaknya akan segera menindaklanjuti pembahasan APBD Perubahan sesuai mekanisme.
Tetapi lagi-lagi, bagi rakyat kecil, semua terdengar seperti janji yang sama dari tahun ke tahun.
Sementara itu, di luar gedung megah DPRD, seorang nelayan tua di tepi laut Dompak hanya bisa tersenyum getir ketika mendengar kabar penurunan pendapatan daerah.
“Kalau uang daerah turun, biasanya bantuan makin susah. Padahal jaring saya sudah robek, kapal pun rusak. Saya tak tahu apakah ada anggaran untuk kami,” ucapnya lirih.
Ironisnya, ketika pemerintah sibuk membicarakan angka-angka triliunan, rakyat kecil justru sibuk memikirkan apakah besok dapur mereka bisa tetap mengepul.
APBD Perubahan Kepri 2025 memang mencatat total Rp3,933 triliun. Angka yang tampak besar, seolah cukup untuk menyejahterakan jutaan warga.
Tapi angka hanyalah angka—dingin, kaku, dan tanpa rasa. Sedangkan kehidupan rakyat, penuh cerita getir yang tak selalu terjangkau oleh perhitungan excel dan tabel keuangan.
Dan ketika nota keuangan itu ditutup dengan kalimat optimis tentang pertumbuhan ekonomi Kepri yang mencapai 7 persen, ada sejenak hening di hati masyarakat yang tak ikut merasakan pertumbuhan itu.
Sebab bagi mereka, angka pertumbuhan hanyalah berita di koran, sementara hidup sehari-hari masih bergulat dengan kebutuhan pokok yang semakin mahal.
Di ruang paripurna, tepuk tangan mungkin terdengar. Tapi di kampung-kampung nelayan, di rumah-rumah buruh, dan di meja makan sederhana para ibu rumah tangga, yang terdengar hanyalah helaan napas panjang: “Apakah APBD Perubahan ini benar-benar untuk kami?”
(red)