![]() |
Proses pemindahan narapidana ke Lapas Nusakambangan. |
Bintan – Fajar baru saja menyingsing ketika suasana di Lapas Narkotika Tanjungpinang terasa berbeda dari biasanya.
Pagi itu, 18 warga binaan dengan kategori risiko tinggi—atau yang kerap disebut high risk—bersiap menjalani perjalanan panjang menuju Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Di balik pintu besi yang selama ini menjadi saksi bisu hari-hari mereka, ada wajah-wajah penuh tanda tanya.
Beberapa diam membisu, ada yang menunduk lama, seolah tengah mengingat potongan hidup yang membawa mereka sampai ke titik ini.
Menurut Humas Lapas Narkotika Tanjungpinang, M. Kurniadi, mereka yang dipindahkan bukanlah narapidana biasa.
“Dari 18 orang itu, ada yang divonis seumur hidup, ada yang dijatuhi hukuman mati, dan ada juga yang dihukum dengan angka puluhan tahun,” ujarnya pelan.
Rinciannya, 9 orang divonis seumur hidup, 4 orang menghadapi hukuman mati, dan 5 orang menjalani hukuman dalam kurun waktu panjang.
Dari jumlah itu, 6 di antaranya merupakan warga negara asing, sementara 12 lainnya adalah warga negara Indonesia.
Perjalanan menuju Nusakambangan bukanlah perjalanan singkat. Sebelum diterbangkan ke Pulau Jawa, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di Lapas Batam.
Malam itu, suasana pemindahan berlangsung ketat, penuh penjagaan. Satu per satu langkah mereka dikawal aparat, sebelum akhirnya menuju bandara untuk diterbangkan ke Cilacap.
“Semua dikumpulkan dulu di Lapas Batam, baru keesokan harinya mereka diterbangkan ke Jawa,” tambah Kurniadi.
Bagi sebagian orang, Nusakambangan sering dijuluki sebagai “pulau terakhir.”
Sebuah tempat yang namanya identik dengan penjara berlapis kawat berduri, pengawasan ketat, dan kisah-kisah besar tentang mereka yang pernah mendekam di sana.
Bagi para narapidana yang berpindah hari itu, Nusakambangan adalah babak baru.
Bukan kebebasan yang menanti, melainkan ruang asing yang lebih ketat, lebih sepi, dan lebih jauh dari keluarga.
Di balik tembok tinggi itu, mereka akan menjalani hari-hari yang panjang, sebagian mungkin hingga akhir hayatnya.
Sementara bagi keluarga mereka, kabar pemindahan ini tentu meninggalkan rasa pilu—karena jarak akan semakin membentang, dan pertemuan menjadi kian sulit.
Pemindahan ini bukan hanya soal prosedur keamanan, melainkan juga tentang manusia-manusia yang pernah salah langkah dalam hidupnya.
Tentang kesalahan yang begitu mahal, hingga membuat mereka harus menanggung konsekuensi di pulau yang dikenal sebagai “Alcatraz”-nya Indonesia.
Namun di balik semua itu, ada pelajaran berharga yang bisa direnungkan: bahwa setiap langkah yang kita ambil hari ini, sekecil apa pun, bisa menentukan ke mana kaki ini akan melangkah di masa depan. (ron)