Proxinet Anambas menyediakan layanan Wifi untuk Anda, Harga Terjangkau, Hubungi 0812-7730-6663 Sukran Menyatu dengan Petani, Seruput Kopi Pahit di Bukit Padi

Sukran Menyatu dengan Petani, Seruput Kopi Pahit di Bukit Padi

Anggota DPRD Anambas, Sukran saat berdiskusi dengan petani Desa Bukit Padi.

Anambas - Terik matahari siang itu membakar Desa Bukit Padi, Jemaja Timur. 

Di tengah hamparan lahan pertanian, seorang pria berkaos sederhana tampak ikut mencangkul tanah bersama petani. 

Keringat mengalir deras, bercampur debu yang menempel di wajahnya. Dialah Sukran, Anggota DPRD Anambas.

Ia datang seorang diri, tanpa iring-iringan protokoler, tanpa staf yang biasanya melekat pada seorang pejabat. 

Sukran melangkah apa adanya, seolah menanggalkan status wakil rakyatnya, dan memilih hadir sebagai sesama manusia yang ingin memahami perihal hidup para petani.

Sesekali ia ikut menggali tanah dengan cangkul, sesekali menaburkan pupuk ke tanaman yang tumbuh setengah hati.

Gerakannya mungkin tak sempurna, namun niatnya begitu tulus: merasakan langsung beratnya beban yang sehari-hari dipikul para petani.

Usai bekerja, Sukran duduk di tikar sederhana di bawah naungan pohon. 

Jamuan pun disuguhkan: pisang hasil panen hari itu, ditemani segelas kopi hitam pahit. 

Tidak ada hidangan mewah, tidak ada seremonial megah. Justru dari kesederhanaan itulah tergambar jelas bagaimana kerasnya kehidupan petani: hidup dari tanah, namun kerap berhadapan dengan nasib yang tak menentu.

Sambil menyeruput kopi, Sukran berkata, “Saya datang untuk mendengar langsung keluh kesah petani. Saya juga ingin memastikan program ketahanan pangan gagasan Presiden Prabowo Subianto benar-benar berjalan di Jemaja.”

Politisi NasDem itu tak hanya berhenti di sana. Ia menaruh keyakinan besar pada daerah yang menjadi dapilnya. 

“Saya optimis Jemaja bisa menjadi lumbung pangan, bukan hanya untuk Anambas, tapi juga untuk Provinsi Kepulauan Riau,” tambahnya.

Namun di balik keyakinan itu, kenyataan masih jauh dari ideal.

Petani Jemaja tetap berhadapan dengan mahalnya harga pupuk, cuaca yang sulit ditebak, serta harga jual hasil panen yang tak sepadan dengan kerja keras mereka. 

Semua perjuangan itu sering berjalan dalam senyap, tanpa banyak didengar.

Hari itu, Sukran mencoba memecah kesenyapan itu. Ia tak sekadar hadir untuk formalitas. 

Ia duduk bersama, mencicipi makanan sederhana, dan mendengarkan suara rakyat yang sering terpinggirkan. 

Ia menunjukkan bahwa wakil rakyat sejati bukan hanya mereka yang berbicara di kursi rapat, melainkan yang berani duduk di tanah, merasakan pahit getir yang sama.

Di wajah para petani, tersungging senyum kecil bercampur harapan. Harapan bahwa kehadiran Sukran bukan sekadar singgah, tetapi menjadi awal perubahan. 

Bahwa peluh yang jatuh di tanah Bukit Padi suatu hari benar-benar akan berbuah kesejahteraan. (byu)

Lebih baru Lebih lama