Proxinet Anambas menyediakan layanan Wifi untuk Anda, Harga Terjangkau, Hubungi 0812-7730-6663 Relawan SPPG Anambas Kerja Berat, Gaji Murah, Tanpa Perlindungan BPJS

Relawan SPPG Anambas Kerja Berat, Gaji Murah, Tanpa Perlindungan BPJS

Relawan MBG Piabung saat menjalankan tugasnya dalam mengantar makanan ke pondok pesantren. Foto: Hendri

Anambas - Di balik aroma nasi hangat dan lauk pauk yang tersaji di meja pelajar, ada cerita pilu yang jarang terdengar. 

Cerita tentang mereka yang bekerja di balik dapur umum program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Kepulauan Anambas. 

Para pekerja ini, yang disebut “relawan”, mengorbankan tenaga, waktu, bahkan kesehatan, namun hanya dibayar dengan gaji yang jauh dari layak.

Setiap pagi buta, sebelum ayam berkokok, mereka sudah berdiri di depan wajan besar, mengaduk nasi dengan keringat bercampur uap panas. 

Jam kerja mereka delapan jam penuh, terkadang lebih, demi memastikan ribuan porsi makanan siap diantar ke sekolah. 

Tetapi imbalan yang diterima, hanya Rp 60 ribu hingga Rp 150 ribu per hari.

Ironisnya, uang sekecil itu belum tentu cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. 

Lebih menyedihkan lagi, mereka tidak memiliki perlindungan apapun. Tidak ada BPJS Kesehatan, tidak ada BPJS Ketenagakerjaan. 

Jika sakit karena kelelahan, atau mengalami kecelakaan kerja, semua ditanggung sendiri.

“Kalau relawan jatuh sakit, mereka pulang tanpa gaji. Kalau tangannya terkena minyak panas, tidak ada klaim asuransi. Semua risiko dipikul sendiri,” kata salah satu relawan dengan mata berkaca-kaca.

Bandingkan dengan posisi Kepala SPPG, Ahli Gizi, dan Administrasi yang digaji Badan Gizi Nasional (BGN). 

Mereka menerima hingga Rp 6 juta per bulan, lengkap dengan fasilitas BPJS. 

Sementara di dapur, orang-orang yang mengaduk nasi, mencuci ompreng, hingga mengantarkan makanan menanggung nasib yang berbeda: gaji kecil tanpa perlindungan.

Humas SPPG Piabung, Hendri, tidak menampik kondisi itu. Ia menyebut para pekerja sebenarnya bukan pegawai tetap, melainkan relawan yang dibayar dari dana operasional yayasan. 

“Kita di sini istilahnya bukan pekerja, tapi relawan. Nah, relawan ini digaji dari operasional yayasan,” jelasnya.

Menurut standar BGN, gaji relawan produksi seharusnya Rp 100 ribu per hari, kepala koki Rp 150 ribu, dan bagian cuci ompreng serta pengantar hanya Rp 50 ribu per hari.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Di dapur Piabung, relawan produksi hanya digaji Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu per hari.

“Awalnya kita ajukan produksi 2 ribu porsi, makanya relawan kita banyak. Tapi ternyata hanya disetujui 1.000 porsi, jadi relawan kelebihan orang. Karena itu gajinya lebih kecil,” aku Hendri.

Alasan itu tidak mampu menghapus getir yang dirasakan para relawan. 

Mereka tetap harus membanting tulang, meski bayaran lebih kecil dari harga satu kilogram ikan segar di pasar. 

Sementara dapur tak pernah berhenti mengepul, dan makanan harus sampai tepat waktu ke sekolah-sekolah.

Lebih memilukan, relawan tidak diikutsertakan dalam BPJS. Hendri beralasan, sulit membayar iuran BPJS karena sifat relawan yang keluar masuk kerja. 

“Relawan hari ini kerja, besok bisa keluar. Mereka juga tidak dikontrak tahunan. Jadi susah kalau harus bayar BPJS,” katanya.

Padahal, risiko pekerjaan sangat nyata. Dari mengangkat panci besar penuh nasi panas, membersihkan ratusan ompreng berulang kali, hingga mengendarai motor membawa makanan ke pelosok sekolah. 

Semua dilakukan dengan tenaga seadanya, tanpa jaminan keselamatan.

Di tengah semua keterbatasan itu, mereka tetap memilih bertahan. Bukan karena gaji yang cukup, melainkan karena ada kebanggaan bisa memberi makan anak-anak sekolah. 

“Kami kerja bukan untuk kaya. Kami kerja karena anak-anak butuh makan bergizi. Itu yang bikin kami bertahan,” ujar seorang ibu relawan sambil menahan tangis.

Begitu berat beban yang dipikul, namun suara mereka jarang terdengar ke permukaan. 

Program MBG tampak megah dari luar, tetapi di baliknya ada relawan yang berjuang dengan bayaran kecil dan tubuh lelah.

Meski gaji jauh dari standar, Hendri memastikan produksi makanan tetap berjalan. 

“Walaupun gaji relawan di bawah standar, tapi komitmen kami tetap sama: memastikan anak-anak sekolah mendapatkan makanan bergizi setiap hari,” katanya.

Namun, di balik kalimat itu, ada air mata yang tertahan. Air mata relawan yang berharap jerih payah mereka dihargai lebih manusiawi. 

Karena di balik sepiring nasi bergizi yang sampai di meja pelajar, ada peluh, ada pengorbanan, dan ada harapan yang nyaris terabaikan. (byu)

 

Lebih baru Lebih lama