![]() |
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kepri, Edison Manik saat menyalami Nurika Faizah usai ucap sumpah WNI. |
Tanjungpinang - Rabu sore, 20 Agustus itu, menjadi hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Nurika Faizah Mohd. Fadzil.
Dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca, ia mengucapkan sumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di hadapan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kepri, Edison Manik, serta sejumlah saksi, statusnya berubah selamanya.
Dari seorang perempuan dengan kewarganegaraan ganda, kini ia resmi menjadi seorang Warga Negara Indonesia (WNI).
Di balik pengucapan sumpah itu, ada kisah panjang tentang identitas dan kebangsaan.
Nurika lahir dari ayah berkewarganegaraan Singapura dan ibu yang asli Indonesia.
Sejak kecil, ia tumbuh dalam dilema dua dunia. Di satu sisi, ada darah ayah yang mengalir dalam dirinya.
Namun di sisi lain, ada tanah kelahiran sang ibu, Indonesia, yang telah menjadi tempat berpijak, belajar, dan bernaung bagi Nurika.
Ketika namanya dipanggil untuk mengucapkan sumpah, suasana ruangan seakan ikut larut. Wajah Nurika terlihat tegar, meski hatinya pasti bergetar.
Satu persatu kata ia ucapkan dengan mantap, mengikatkan dirinya pada merah putih, pada tanah air yang kini sepenuhnya menjadi rumahnya.
Kepala Kanwil Kemenkumham Kepri, Edison Manik, yang memimpin jalannya prosesi, menegaskan bahwa pengambilan sumpah ini bukan sekadar formalitas.
“Ini merupakan bentuk kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum, khususnya bagi anak-anak hasil perkawinan campuran,” ujarnya.
Sejak detik itu, hak dan kewajiban sebagai WNI resmi melekat pada diri Nurika.
Edison berpesan, agar Nurika selalu menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menjaga kesetiaannya kepada NKRI.
“Ia juga harus menghormati keberagaman suku, agama, ras, bahasa, dan budaya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika,” tambahnya.
Bagi Nurika, momen ini bukan sekadar tentang dokumen kewarganegaraan. Lebih dari itu, ini adalah perasaan diterima, diakui, dan disatukan dengan bangsa yang telah lama ia cintai.
Ada harapan baru yang kini terpancar dari sorot matanya—harapan untuk melangkah ke depan, membangun kehidupan sebagai seorang anak bangsa, dengan identitas yang utuh dan tak lagi terbelah.
Di ujung acara, ia menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Saya bangga bisa menjadi bagian dari Indonesia,” ucapnya lirih, kalimat yang sederhana, namun menyimpan rasa lega dan haru yang mendalam.
Hari itu, Nurika Faizah tidak hanya memperoleh status baru. Ia menemukan rumah sejati dalam pelukan merah putih. (ael)