![]() |
Eni, warga Mengkait saat curhat masalahnya ke petugas LKKPN Pekanbaru. |
Eni adalah satu dari puluhan ibu rumah tangga di Mengkait yang menggantungkan harapan hidup dari laut. Suaminya seorang nelayan, seperti mayoritas warga di desa itu.
Setiap hari, ia berangkat pagi dan pulang saat senja dengan tangkapan seadanya. Kadang ada ikan, kadang tidak. Rata-rata penghasilan hanya Rp 80 ribu per hari. Itu pun belum dikurangi uang minyak untuk pompong yang bisa menghabiskan setengahnya.
"Seringnya malah tak cukup buat beli beras. Kami cuma makan ikan murah, kerisi, kadang tongkol kecil. Kakap, kerapu, kami jual, bukan makan sendiri," ujar Eni pelan.
Daging ayam dan sapi hanyalah menu yang dilihat dari televisi. Harga daging sapi yang menyentuh Rp 140 ribu per kilogram terasa seperti lelucon pahit bagi warga Mengkait. “Duit dari mana? Kalau kami beli itu, habis semua uang belanja," tambahnya.
Dilema Saat Ada Tamu
Ketika ada acara syukuran, pernikahan, atau sekadar kedatangan tamu dari luar, warga Mengkait ingin memberi yang terbaik. Tapi dengan isi dapur yang nyaris kosong, mereka hanya punya satu jalan keluar—yang menyayat hati dan rasa bersalah: menyembelih penyu.
“Penyu itu kadang tersangkut jaring. Kadang naik ke pantai. Dulu kami anggap biasa, tapi sekarang kami tahu itu hewan dilindungi. Tapi mau gimana? Itu yang bisa kami sajikan untuk tamu. Kalau tidak, malu kami,” kata Eni, suara seraknya tertahan.
Eni pun tak sanggup menahan air matanya saat mengisahkan momen penyembelihan penyu terakhir di desanya.
“Saya tak tega. Waktu dipotong, saya menangis. Tapi saya juga harus masak. Anak-anak saya tanya: ‘Kenapa Mama nangis?’. Saya bilang: ‘Karena Mama sayang penyu, tapi Mama juga sayang kalian…’,” ucapnya, kali ini dengan isak tertahan.
Eni tahu bahwa yang ia lakukan melanggar hukum. Tapi ia juga ingin dunia tahu bahwa pelanggaran itu bukan karena niat jahat—melainkan karena tidak adanya jalan lain.
"Kami bukan tidak peduli. Kami dukung perlindungan penyu. Tapi tolong, bantu kami juga. Ekonomi kami parah. Hidup kami susah. Jangan cuma larang, tapi bantu kami keluar dari kemiskinan," kata Eni, berharap kata-katanya tak berhenti di catatan kunjungan semata.
Pemerintah: Kami Harus Hadir Lebih Nyata
Kisah Eni dan warga Mengkait menjadi tamparan bagi siapa pun yang mengedepankan aturan tanpa menyentuh akar permasalahan. Ketua Tim Kerjasama, Data, dan Informasi LKKPN Pekanbaru, Andriyatno Hanif, yang mendengar langsung kisah ini pun mengakui—ini bukan semata kesalahan masyarakat.
“Dari sisi hukum dan agama, jelas tidak dibenarkan. Tapi kami sadar, ini bukan soal tidak tahu. Ini soal tidak adanya pilihan. Masyarakat terpaksa. Itu artinya, pemerintah harus hadir lebih nyata,” katanya.
Ia menjanjikan akan mencari alternatif, pelatihan, dan bantuan usaha. “Kami tak bisa datang hanya untuk menegur. Kami harus datang untuk membantu. Masalah ini bukan sepenuhnya salah masyarakat. Salahnya juga di pemerintah. Dan kami akan perbaiki itu,” ujar Andriyatno.
Ketika Pelestarian Tak Cukup dengan Larangan
Kisah dari Desa Mengkait menggugah banyak hal. Ia membuka mata bahwa pelestarian lingkungan tidak cukup hanya dengan larangan. Tidak cukup dengan ancaman hukuman. Ia harus diiringi keberpihakan. Harus ada jembatan antara hukum dan kemanusiaan.
Warga seperti Eni bukanlah musuh. Mereka adalah korban dari sistem yang belum menjangkau mereka. Mereka ingin berubah. Mereka ingin menjadi penjaga laut, bukan perusaknya. Tapi mereka butuh tangan yang mengulurkan, bukan hanya telunjuk yang menuding.
“Kalau ada yang bantu usaha, bantu dapur kami, bantu anak-anak sekolah, kami tak akan sentuh penyu lagi. Kami janji,” tutup Eni, dengan tatapan sendu menatap laut—tempat segala harapan dan kesedihan mereka bermula.
Catatan Redaksi:
Penyu laut adalah satwa dilindungi yang populasinya semakin terancam. Namun, di banyak wilayah pesisir seperti Mengkait, pelanggaran terhadap satwa ini kerap terjadi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena tekanan ekonomi. Pelestarian lingkungan tak boleh memisahkan diri dari keadilan sosial. Karena bagaimana mungkin orang menjaga laut, jika isi dapurnya tak pernah penuh? (san)