Proxinet Anambas menyediakan layanan Wifi untuk Anda, Harga Terjangkau, Hubungi 0812-7730-6663 Langit Sepi, Wings Air Ogah Terbang ke Anambas Setiap Saat

Langit Sepi, Wings Air Ogah Terbang ke Anambas Setiap Saat

Pesawat Wings Air saat mendarat di Bandara. Foto: ANTARA

Anambas - Langit Anambas tak lagi seramai dulu. Sejak 1 September, deru baling-baling Wings Air yang biasanya terdengar tiga hingga empat kali dalam sepekan, kini hanya hadir sekali. 

Bagi sebagian orang, mungkin ini sekadar pengurangan jadwal penerbangan. 

Namun, bagi masyarakat Anambas, terutama di Letung, hal ini terasa seperti kehilangan nadi yang selama ini menghubungkan mereka dengan dunia luar.

Bayangkan seorang ibu yang harus bolak-balik Batam–Letung demi berobat. 

Dengan jadwal baru ini, ia mungkin harus menunggu berhari-hari untuk bisa pulang. 

Atau seorang pelajar yang menempuh pendidikan di luar daerah, kini dihantui kecemasan: akankah ia bisa pulang tepat waktu saat libur singkat?

Bupati Anambas, Aneng, tak tinggal diam. Ia langsung menyurati manajemen Lion Air Group, meminta jadwal penerbangan dikembalikan seperti semula atau setidaknya ditambah dua kali dalam seminggu. 

Dalam surat bernomor B.500.11.1/ KDH/SD/09/2025 itu, ia menegaskan betapa pentingnya penerbangan Wings Air. 

“Selain itu, penerbangan ini juga sebagai penunjang pelaksanaan pemerintahan, perekonomian dan konektivitas antar daerah,” ucapnya penuh harap.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Perhubungan Anambas, Nurullah, memastikan bahwa alasan pengurangan jadwal bukan karena penumpang menurun. 

“Jumlah penumpang stabil, tidak ada penurunan dibandingkan tahun lalu,” tegasnya.

Meski begitu, alasan operasional membuat sayap Wings Air terpaksa terlipat. 

Hanya sekali dalam seminggu pesawat itu menyapa langit Letung. Selama dua bulan ke depan, masyarakat Anambas harus bertahan dengan kenyataan ini.

“Dari teman di Bandara, dalam waktu dekat Kepala Bandara akan ke Jakarta. Mudah-mudahan bisa sekalian negosiasi dengan maskapai lain untuk masuk ke Letung,” tambah Nurullah dengan nada penuh harapan.

Namun, harapan itu tak serta-merta menghapus resah. Warga masih bertanya-tanya: bagaimana bila ada keadaan darurat? 

Bagaimana jika wisatawan yang sudah jauh-jauh datang harus kecewa karena sulitnya akses?

Bagi Anambas, pesawat bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah jembatan asa, penghubung rindu, sekaligus penopang ekonomi. 

Saat sayapnya hanya mengepak sekali seminggu, masyarakat pun seolah dipaksa belajar sabar menunggu. 

Menunggu kepastian, menunggu solusi, menunggu saat di mana langit Anambas kembali ramai oleh suara mesin yang membawa harapan. (byu)

Lebih baru Lebih lama