Proxinet Anambas menyediakan layanan Wifi untuk Anda, Harga Terjangkau, Hubungi 0812-7730-6663 Kapolres Anambas Ulurkan Kasih untuk Fajar, Bocah yang Berjuang Lawan Hidrosefalus

Kapolres Anambas Ulurkan Kasih untuk Fajar, Bocah yang Berjuang Lawan Hidrosefalus

Kapolres Anambas, AKBP I Gusti Ngurah Agung bersenda gurau dengan Fajar anak dari Syariah.

Anambas - Di sebuah rumah kayu kecil di Desa Tarempa Timur, suara isak tangis pecah di antara deru angin laut. 

Sore itu, Kamis (9/10), menjadi hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Sari’ah (45) — seorang ibu yang telah lama hidup dalam kegelapan, baik secara harfiah maupun batin. 

Sejak usia 11 tahun, Sari’ah kehilangan penglihatannya akibat penyakit mata yang tak sempat diobati. 

Dunia baginya kini hanya gelap, tanpa warna, tanpa bentuk — tapi di hatinya, ada satu cahaya kecil yang selalu membuatnya bertahan: anak semata wayangnya, Fajar (10).

Namun, takdir seolah terus menguji. Fajar, yang diharapkannya menjadi penerang hidup, justru harus berjuang melawan penyakit hidrosefalus — penumpukan cairan di kepala yang membuat kepalanya membesar. 

Di usia yang seharusnya ia berlari dan bermain, Fajar hanya bisa berbaring di atas tikar lusuh, tubuhnya lemah, matanya kadang menatap kosong ke langit-langit rumah mereka yang bocor di beberapa bagian.

Ketika rombongan Kapolres Kepulauan Anambas, AKBP I Gusti Ngurah Agung, datang ke rumah itu, suasana mendadak berubah. 

Sari’ah yang sedang duduk di samping anaknya mendengar suara langkah dan sapaan lembut dari luar. 

“Assalamu’alaikum, Bu Sari’ah,” ucap Kapolres dengan nada penuh hormat. 

Sari’ah tertegun. Tangannya meraba udara di depannya, mencari arah suara.

“Waalaikum salam… Siapa ya, Nak?” jawabnya pelan, suaranya bergetar.

“Saya Kapolres, Bu. Kami datang ingin menjenguk Ibu dan Fajar,” jawab AKBP Ngurah Agung sambil menunduk, menahan haru melihat kondisi rumah itu. 

Ketika tahu bahwa yang datang adalah seorang Kapolres, Sari’ah langsung menangis. 

Ia menutup wajahnya dengan tangan, suaranya pecah. “Ya Allah… saya tidak menyangka, ada orang yang mau datang lihat kami…,” ucapnya lirih di antara isak.

Kapolres menghampiri, menepuk lembut bahu Sari’ah.

Fajar sang anak langsung duduk dipangkuan Kapolres, tapi sesekali tersenyum kecil saat mendengar suara orang ramai di sekitarnya. 

“Fajar senang ya, banyak yang datang,” kata Kapolres sambil mengelus kepalanya. 

Fajar hanya menjawab dengan lirih, “Iya, Om Polisi baik…”

Tangis semakin pecah. Tenaga medis berusaha menenangkan suasana, sementara Sari’ah terus berdoa dalam hati. 

Ia tidak bisa melihat wajah anaknya yang diperiksa, tapi dari nada suara sang dokter, ia tahu penyakit itu tidak ringan. “Bagaimana, Dok?” tanya Kapolres pelan.

Dokter menghela napas. “Fajar butuh penanganan lanjutan di rumah sakit, Pak. Kalau terus dibiarkan, bisa berbahaya.”

Sari’ah menunduk. Air matanya menetes satu per satu ke tangan yang sudah kasar oleh kerja keras. 

“Saya tidak punya uang, Pak. Kadang makan pun susah. Tapi saya ingin anak saya sembuh… meski saya tak bisa melihat, saya ingin mendengar suaranya tertawa,” katanya lirih, mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya.

Kapolres terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu berkata pelan, “Bu, Ibu tidak sendiri. Kami dari Polres akan bantu semampu kami. Kami ingin Fajar bisa dapat pengobatan yang layak. Ini bukan sekadar tugas kami, tapi panggilan hati.”

Ucapannya membuat suasana makin haru. Beberapa anggota polisi yang ikut menundukkan kepala, menahan air mata. 

Di ruangan sederhana itu, kesunyian berubah menjadi doa. Hanya suara Fajar yang pelan berkata, “Ibu jangan nangis, nanti Fajar sembuh kok…”

Kata-kata polos itu membuat seisi ruangan terdiam. Sari’ah langsung memeluk anaknya erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. 

Tangisnya pecah, menggema bersama suara lembut ombak dari kejauhan. “Ibu cuma ingin kamu sehat, Nak… meski ibu tidak bisa melihat wajahmu, tapi ibu tahu kamu anak yang kuat,” katanya.

Sebelum berpamitan, Kapolres menggenggam tangan Sari’ah erat-erat. 

“Tetap semangat, Bu. Jangan menyerah. Ada banyak orang di luar sana yang peduli. Polisi ada bukan hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga untuk menjaga hati dan kemanusiaan,” ujarnya dengan suara bergetar.

Sari’ah menunduk. “Terima kasih, Pak. Hari ini saya merasa seperti punya keluarga lagi,” ucapnya tulus.

Sore itu, sinar matahari menembus sela dinding kayu rumah Sari’ah, membentuk cahaya lembut yang jatuh di wajah Fajar. 

Mungkin itu bukan sekadar cahaya biasa — tapi simbol harapan baru yang datang setelah lama terpendam di dalam gelap.

Di tengah keterbatasan, di antara keputusasaan yang panjang, kehadiran orang-orang berhati baik seperti Kapolres dan rombongannya menjadi bukti bahwa kemanusiaan masih hidup. 

Bahwa di dunia yang penuh hiruk-pikuk dan ketidakpedulian, masih ada tangan yang mau menyentuh dengan tulus, masih ada hati yang mau melihat — bahkan ketika mata sudah lama buta.

Dan di rumah sederhana di Tarempa Timur itu, sore hari itu berubah menjadi saksi: air mata bisa jadi tanda kelemahan, tapi juga bisa jadi tanda kasih, harapan, dan cinta yang tak pernah padam.

(Prengky Tanjung)

Lebih baru Lebih lama