![]() |
| KM Sabuk Nusantara 83 |
Anambas – Di pelabuhan kecil Tarempa, suara klakson kapal tak lagi seakrab dulu. Di warung-warung kopi yang menghadap laut, warga kerap melontarkan keluhan yang sama: kapan kapal perintis dari Tanjungpinang akan kembali?
Sudah dua tahun berlalu sejak KM Sabuk Nusantara 83 terakhir kali bersandar di Anambas.
Sejak 2023, rute kapal perintis dari Tanjungpinang yang menjadi andalan warga perbatasan ini vakum tanpa kepastian.
Meski masih ada kapal perintis yang singgah, seperti dari Pontianak, jalur utama dari ibu kota provinsi seolah hilang dari peta konektivitas.
“Kalau dari Tanjungpinang, sekarang cuma bisa pakai ferry. Itu pun mahal, dan sering habis tiket,” ujar Rika (38), warga Letung, yang tengah menanti keluarganya pulang dari Bintan. “Sabuk Nusantara itu dulu penyelamat kami. Sekarang kami bingung.”
Mahal dan Tidak Terjangkau
Warga yang hendak pulang dari Tanjungpinang ke Anambas kini tak punya banyak pilihan.
Selain ongkos kapal cepat yang jauh lebih mahal, frekuensinya pun terbatas.
Tak jarang, dalam momen-momen ramai seperti hari libur atau musim liburan sekolah, tiket habis dalam hitungan jam.
“Pernah saya harus nginap dua malam di Tanjungpinang karena tiket ferry penuh. Kalau naik pesawat, mana sanggup,” keluh Ahmad (50), pekerja swasta di Tarempa. “Kapal Sabuk itu meskipun lama di laut, tapi kami bisa bawa barang banyak, dan biayanya murah.”
Dishub Anambas Tak Diam
Keluhan warga bukan tanpa perhatian pemerintah daerah. Sekretaris Dinas Perhubungan Kabupaten Kepulauan Anambas, Nurullah, menegaskan bahwa pihaknya sudah berulang kali menyuarakan kebutuhan akan rute kapal perintis dari Kijang atau Tanjungpinang ke Anambas.
“Setiap tahun kami mengikuti rapat di Kementerian Perhubungan terkait penentuan trayek kapal perintis. Dan setiap tahun juga kami usulkan rute ini, tapi belum dikabulkan,” ujar Nurullah saat ditemui, Rabu, (16/7).
Menurut hasil koordinasi dengan Kemenhub, pertimbangan pusat adalah karena Anambas dinilai sudah cukup dilayani transportasi laut: dari kapal ferry, Roro, hingga kapal penumpang nasional seperti KM Bukit Raya.
“Tapi bagi kami itu belum cukup. Warga masih kesulitan karena tidak semua bisa akses ferry atau pesawat. Harga kapal perintis jauh lebih terjangkau,” tegas Nurullah. “Kami akan terus coba usulkan sampai rute ini bisa direalisasikan.”
Antara Tol Laut dan Keadilan Transportasi
Program tol laut digagas untuk menjamin pemerataan logistik dan akses transportasi hingga ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Namun bagi warga Anambas, kenyataannya masih jauh dari harapan.
“Kalau benar pemerintah ingin hadir di perbatasan, ya buktikan dengan hal sederhana: hidupkan kembali rute kapal rakyat itu,” kata Hasan, nelayan senior di Palmatak.
Ia mengibaratkan kapal perintis bukan sekadar transportasi, tapi urat nadi kehidupan. Dari bahan pokok, alat pertanian, hingga anak sekolah, semua pernah menumpang kapal itu—membelah laut demi harapan.
Harapan Tak Pernah Surut
Meski kecewa, warga tetap menyimpan harapan. Di setiap dermaga, pelabuhan, dan cerita tentang Sabuk Nusantara, ada doa yang diam-diam mereka panjatkan: semoga kapal itu kembali. Semoga negara ingat.
“Selama laut masih di depan kami, kami akan terus menunggu,” ucap Rika sambil menatap ke horizon, tempat kapal itu dulu biasa muncul perlahan, disambut gembira oleh warga pulau. (prk)
Tags
Anambas
